Berburuk Sangka || Ilyas Yasin

Tiga hari kemudian saya juga ‘ditampar’ oleh kesalahan yang menyakitkan. Ceritanya saya berbelanja ke sebuah kios kecil yang dimiliki seorang pak haji dan isterinya. Meski sudah usang menikah tapi pasutri ini belum dikarunia anak. Padahal usia sang suami makin senja.

Saat membeli sesuatu kemarin, saya gres tahu jikalau pasutri ini tinggal dengan anak yang mengalami kelainan fisik dan mental yang cukup serius. Ia anak saudara laki-laki sang istri. 

Ilyas Yasin
Facebook : 
Ilyas Yasin 
Seorang anak laki-laki difabel yang berusia 11 tahun. Kabarnya, sebab terlahir cacad, bocah ini sering menerima perlakukan berangasan dari orangtuanya. Dipukul dan dibentak. Merasa kasihan kesannya pasutri ini memutuskan mengadopsinya.

Saat ke sana saya lihat pak haji menuntun anak ini berjalan. Pak haji tiba menemui saya dan mengajak ngobrol sambil menunggu pesanan saya. Kondisi anak ini cukup mengenaskan. Ia lumpuh.

Kedua pergelangan kakinya bengkok dan kerdil sehingga tak bisa menyangga berat badaannya. Saat berjalan mesti dipapah. Ia juga tak bisa berbicara kecuali hanya mengeluarkan bunyi mendengung. Kata ibunya, ujung lidahnya melekat dengan rongga ekspresi yang lain sehingga ia kesulitan mengucapkan sesuatu.

Sesaat sehabis lahir ia tidak teriak dan menangis menyerupai bayi umumnya. Saat itu orangtuanya tidak menyangka itu sebagai kelainan sampai kesannya ia tak kunjung bisa berbicara. Meski begitu, bocah ini tetap merespon lawan bicaranya termasuk menangis. Ia juga bisa memahami makna pembicaraan orang lain. Air ludahnya selalu merembes dari mulutnya sampai harus selalu menggunakan celemek.

Menurut dongeng isteri pak haji, dibandingkan dulu kondisinya sekarang jauh lebih baik. Itu sehabis mereka membawa anak ini ke Surabaya untuk menjalani terapi dengan biaya 11 juta. Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran orang desa.

Saya perhatikan, pak haji dan isterinya begitu sabar dan telaten mengurus anak malang ini.Menggendongnya, memapah, menyuapi dan memenuhi semua kebutuhannya karena keterbatasan sang anak beraktivitas.

Maka, setumpuk pertanyaan yang dulu berkelebat di benak saya sekarang mulai terjawab. Pasalnya, semenjak sepulang haji beberapa tahun kemudian saya heran sebab pak haji ini jarang ikut salat berjamaah di mesjid kami. Padahal jaraknya cukup bersahabat dari rumahnya.

Saya agak kecewa dengan sikapnya. Bagaimanapun di kampung kami seorang yang telah berhaji itu panutan warga. Termasuk dalam beribadah. Jika ia hanya salat di rumah itu aneh. Tetapi dengan insiden kemarin saya menduga besar lengan berkuasa bahwa mengurus anak difabel itu menjadi salah satu penghalang pak haji untuk bergabung dengan jamaah lain di mesjid.

Maafkan saya ya Allah.

0 Response to "Berburuk Sangka || Ilyas Yasin"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel