Politik Media: Penebar ‘Ratapan’ Atau ‘Harapan’? || Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)

Created by : Ilyas, M.M.Pd
    Enam tahun kemudian saya mengenal baik seorang seorang pegawai pada sebuah instansi pemerintah di Kabupaten Dompu. Karena kami tinggal satu desa bahkan di dusun yang sama tentu saja korelasi kami sangat akrab. Sebelum meninggal pada 2010 lantaran kecelakaan beliau sempat bercerita perihal pengalamannya sebagai bendahara pada salah satu proyek di tempatnya bekerja. Cerita yang hingga hari ini masih membekas dalam memori saya. Setelah proyek itu selesai, menyerupai biasa, kantornya kedatangan tim dari Bawasda (Inspektorat) untuk melaksanakan pemeriksaan. Tapi berbeda dengan yang sudah-sudah, kali ini investigasi oleh forum auditor internal pemerintah itu agak ‘lain’ lantaran berlangsung berhari-hari. Sebagai bendahara tentu saja beliau banyak dicecar aneka macam pertanyaan seputar proyek yang sudah rampung itu plus bukti - bukti dan laporan pelaksanaanya. Karena pemeriksaannya berhari-hari beliau mulai gelisah dan kesal dengan tim auditor plat merah tersebut. Dia curiga jangan-jangan sang auditor itu memerlukan ‘servis plus’.

      Dia segera melaporkan hal itu kepada atasannya. Gayung bersambut. Pimpinannya menyarankan biar segera menyiapkan ‘sesajen’ untuk membungkam sang auditor. Menjelang auditor itu pulang, secara belakang layar beliau menyelipkan amplop berisi uang ke dalam tas sang auditor. Jumlahnya cukup fantastis, dengan cita-cita auditor itu tidak balik lagi besok melanjutkan investigasi di kantornya. Apa lacur. Pada malamnya beliau kaget mendapatkan telepon dari sang auditor yang---kebetulan bergelar haji---menyayangkan tindakannya memasukkan uang itu ke dalam tasnya tanpa seizinnya. “Jika Anda mengira bahwa investigasi cukup usang itu lantaran saya menginginkan uang ini maka Anda keliru. Tugas saya memang melaksanakan investigasi sesuai kewenangan saya. Dan negara sudah menggaji saya untuk pekerjaan itu. Silakan ambil kembali uang Anda sekarang, saya tidak butuh!” ungkapnya lembut tapi menohok. Akhirnya uang itu benar-benar beliau kembalikan. Di bawah tatapan sinis dan curiga atas birokrasi yang lamban dan korup selama ini, teman saya sempat tak percaya kalau masih ada pegawai yang higienis dan jujur menyerupai itu.

     Kisah di atas sempat saya sampaikan dalam diskusi dengan insan pers yang difasilitasi KPUD Dompu perihal kemitraan penyelenggara Pemilu dengan Pers, Kamis pekan lalu. Cerita itu sengaja saya sampaikan sebagai sindiran terhadap kecenderungan pemberitaan media yang tidak seimbang. Maksud saya bukan dalam konteks penulisan beritanya tapi dalam porsi pemberitaanya. Sebagai mantan wartawan, saya sadar sekali akan kepercayaan dalam dunia pers “the bad news is the news values” (berita buruk itulah yang punya nilai berita). Seperti diakui salah seorang rekan wartawan dalam diskusi itu, bahwa pimpinan redaksinya kerapkali menuntut wartawannya untuk mencari berita-berita yang mempunyai imbas dramatik menyerupai pembakaran, kerusuhan, perkosaan dan berita-berita yang menonjolkan naluri purba insan lainnya. Demikian pula info korupsi atau skandal seks terutama di kalangan pejabat negara. Padahal orang-orang baik dan berdedikasi menyerupai yang saya ceritakan di atas masih ada tapi luput (atau tidak menarik?) dari pemberitaan media. Padahal jikalau ada pemberitaan perihal figur-figur inspiratif menyerupai ini terang akan menjadi vitamin bagi jiwa bangsa yang ditimpa kemalangan ini.

    Menurut pendapat saya, dalam batas tertentu tidak problem berita-berita dramatik itu disiarkan tetapi juga harus diingat bahwa pers--sebagai pembentuk opini publik--punya tanggung jawab moral untuk tidak berbagi info atau informasi yang berpotensi menjadikan putus asa sosial. Sebab betapapun cara berpikir, berperilaku dan bertindak seseorang sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh asupan informasi yang diterima dan diolahnya. Bayangkan, jikalau setiap hari seseorang atau publik dijejali dengan aneka macam info negatif (pembunuhan, pemerkosaan, kerusuhan, tragedi alam, atau korupsi) maka hal itu akan memengaruhi persepsi beliau terhadap lingkungan di sekitarnya. Pada hasilnya beliau merasa dan menyimpulkan bahwa seolah tidak ada rasa kondusif di negeri ini: rakyatnya anarkis dan pejabatnya brengsek. Dia menjadi kehilangan rasa kondusif dan rasa gembira sebagai warga negara. Di beberapa media TV kita seringkali disuguhkan siaran info kejahatan---misalnya penggerebekan dan penangkapan kelompok teroris---itu secara ‘live’ lengkap dengan segala asesoris dramatiknya. Singkatnya liputan atas aksi-aksi semacam itu bagaikan ‘reality show’: ada darah, tangisan, kesedihan dan tentu saja kejutan-kejutan yang menghentak sisi kemanusiaan penontonnya.

     Dalam konteks Bima Dompu, aneka macam kejadian kerusuhan, pembunuhan dan perkelahian ynng terjadi, baik di kampus maupun kampung, yang selanjutnya di-blow up media telah memperlihatkan gambaran buruk perihal kondisifitas di tempat ini. Akhirnya gambaran Bima Dompu seolah identik anarkisme. Berita-berita kekerasan yang direproduksi secara terus-menerus oleh media hasilnya akan membentuk persepsi seolah sebagai realitas sebenarnya. Berita atau informasi yang bersifat lokal dan kasustik hasilnya digeneralisasi seolah mewakili realitas secara keseluruhan, padahal itu hanya realitas semu. Dalam hal ini, kita tentu masih ingat dengan ‘keseleo’ pengecap Fenny Rose, pembaca program hiburan pada stasiun TV nasional yang menyebut Kota Yogyakarta sebagai “kota bencana” ketika meletusnya Gunung Merapi pada 2010 kemudian sehingga menyulut reaksi keras dari warga DI Yogyakarta. Warga Yogya ‘tersinggung’ lantaran Rose dianggap terlalu berlebihan melukiskan dampak tragedi gunung berapi itu seolah Kota Pelajar itu dalam keadaan ‘kiamat’.

    Dalam konteks hajatan politik menyerupai Pilkada dan Pemilu, dimana ruang-ruang publik kerapkali sesak dengan aneka macam ungkapan kebencian serta saling merendahkan maka potensi dan penyebaran virus pesimisme itu semakin gampang menggerogoti badan bangsa ini. Ibarat badan jikalau serangan virus itu terjadi terus-menerus dan dalam jangka waktu usang maka secara otomatis akan menurunkan imunitas sebagai sebuah bangsa. Imunitas itu tidak lain ialah nasionalisme. Jika imunitas ini sudah hilang maka yang terjadi ialah “politik bumi hangus” atau “perang melawan semua”.

    Jika berita-berita di media itu didominasi hal-hal buruk maka orang akan mengidentikkan info media itu dengan ‘derita’, ‘air mata’ dan ‘kesedihan’. Dan hal ini terang tidak sehat bagi kita sebagai bangsa lantaran hari-harinya terasa berat oleh penderitaan dan ratapan. Sebaliknya pemberitaan-pemberitaan media yang positif dan konstruktif terang akan memengaruhi kemammpuan sebuah bangsa untuk melawan segala kemalangan dan keterpurukan yang menimpanya. Dalam korelasi ini, menarik mencermati pemberitaan media Jepang ketika dihantam tragedi tsunami hebat beberapa tahun lalu. Meski ketika itu jawaban yang ditimbulkan oleh tragedi itu cukup parah, termasuk menghancurkan beberapa kota utama di Jepang, namun hampir kita tidak melihat media negara matahari terbit itu, termasuk stasiun TV nasionalnya, menampilkan atau menayangkan wajah-wajah dengan ekspresi ketakutan, stress berat dan kesedihan atas hantaman air bahari tersebut. Pemerintah dan media di Jepang tampaknya sadar benar implikasi pemberitaan itu terhadap rasa optimisme dan semangat warganya untuk bangun pasca musibah tersebut.

Sumber: matanews.com 


   Di kala digital menyerupai kini dimana aneka macam media online maupun penggunaan media umum kian massif maka penyebaran virus ‘ratapan’ itu akan semakin nyata. Celakanya, kala ini justru memperlihatkan wataknya yang paradoks alasannya ialah keterbukaan dan kemudahan memperoleh informasi tidak secara otomatis memperluas perspektif kita tetapi justru sebaliknya semakin sempit dan picik. Kenapa? Karena orang cenderung mencari dan membaca informasi-informasi yang sesuai ‘ideologi’-nya saja; beliau malas mencari tahu informasi lain sebagai pembanding (second opinion) dalam isu tertentu. Seperti dijelaskan John Naisbit&Aburdene (1990) bahwa inilah tabiat paradoks dari globalisasi: di satu sisi orang semakin terhubung satu dengan lain dan berdekatan dalam desa buana (global village) tapi di sisi lain globalisasi menciptakan mereka makin masuk ke dalam ikatan-ikatan primordialnya----entah itu agama atau kesukuan.

    Sebagai sebuah hajatan politik tentu saja protes dan ungkapan tidak puas selalu muncul dalam ajang Pemilu dan Pilkada. Tetapi, sekali lagi, pers punya tanggung jawab untuk memperlihatkan edukasi kepada masyarakat bahwa demokrasi itu bukan hanya berisi “kebebasan” tapi juga “keteraturan”. Atau dalam istilah Alfian (1994) demokrasi itu merupakan perpaduan antara “konflik” dan “konsensus”; keduanya harus seimbang. Tidak ada demokrasi jikalau tak ada “konflik” tapi jikalau hanya berisi konflik maka yang lahir ialah “democrazy”. Sebaliknya jikalau sebuah sistem pemerintahan tersebut hanya berisi “konsensus” saja maka itu pun bukan demokrasi melainkan “monokrasi” sebagaimana yang kita alami selama lebih tiga dasawarsa dalam alam kegelapan Orde Baru.

     Polarisasi yang cukup tajam yang dibingkai isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta ialah pola konkret bagaimana ikatan-ikatan primordial (agama) itu dimainkan dan dimanfaatkan secara efektif oleh politisi guna meraih pemberian elektoral. Pilkada DKI Jakarta dipandang sebagai pola Pilkada paling buruk dan mengerikan lantaran sebagian kontestan memakai sentimen agama secara terbuka dalam pertarungan elektoral tersebut. (Teamwork212)


baca juga artikel lain dari Ilyas, M.M.Pd tentang

0 Response to "Politik Media: Penebar ‘Ratapan’ Atau ‘Harapan’? || Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel