“Kotak Pandora” Anutan Mui || Ilyas, M.M.Pd

Meski sidang atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh cagub petahana DKI Jakarta Ahok terus berlangsung (memasuki sidang ke-13), namun kemarahan sebagian umat Islam atas ucapannya perihal surat Al-Maidah 51 tetap membara sebagaimana dalam agresi demo yang digelar Forum Umat Islam (FUI) pada Jumat kemarin (31/3/2017).

Kendati agresi itu---lebih terkenal dengan sebutan “Aksi 313”---tidak semassif dua agresi sebelumnya, baik dari jumlah massa maupun gaungnya, namun gelombang agresi itu tetap hendak mengirimkan pesan bahwa ucapan Ahok dianggap telah melukai perasaan sebagian umat Islam.

Hanya saja, alasannya ialah perkara ini beririsan dengan politik elektoral Pilkada DKI Jakarta maka menganggapnya sebagai murni problem agama dan hukum, ekonomis penulis, sama saja dengan mengingkari ombak yang menerpa pantai.

Salah satu pemicu aksi-aksi demo tersebut ialah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menilai bahwa ucapan Ahok dikala berpidato di kepulauan Seribu Jakarta itu tergolong ‘penistaan’ terhadap agama Islam.

Fatwa tersebut kemudian berbuah gelombang agresi demontrasi oleh massa Aksi Bela Islam (ABI) jilid satu dan jilid dua. Menjelang Natal 2016 MUI juga mengeluarkan. pemikiran haram bagi umat Islam ikut dalam perayaan Natal bersama, termasuk menggunakan atribut Natal, yang berujung pada agresi sweeping oleh ormas Islam tertentu di beberapa sentra perbelanjaan di Surabaya.

 Ilyas, M.M.Pd
Jujur sampai kini saya termasuk yang ‘gagal paham’ dengan pemikiran MUI terkait larangan menggunakan atribut Natal bagi umat Islam.

Dalam siaran persnya (detikNews, 14 Desember 2016), Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam menyatakan bahwa “Menggunakan atribut keagamaan nonmuslim ialah haram. Mengajak dan atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan nonmuslim ialah haram”.

Asrorun mengatakan, atribut keagamaan ialah sesuatu yang digunakan dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. Alasannya, alasannya ialah banyak pemilik perjuangan (hotel, super market, departement store, restoran dsb) bahkan kantor pemerintahan yang mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non muslim.

Jika alasannya alasannya ialah “banyak pemilik perjuangan (hotel, super market, departement store, restoran dsb) bahkan kantor pemerintahan yang mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari nonmuslim” mungkin masih sanggup dimaklumi alasannya ialah hal itu dianggap melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Orang, tubuh perjuangan atau forum yang memaksakan karyawannya menggunakan atribut keagamaan di luar agamanya sanggup dipandang melanggar HAM.

Tapi yang menjadi perkara ialah soal penggunaan “.atribut keagamaan yang digunakan dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

Bagi saya bukan fatwanya yang bermasalah namun yang dikhawatirkan ialah “side effect” dari pemikiran itu yang memang memerlukan batasan-batasan yang jelas. Perihal “atribut keagamaan” tersebut debatable alasannya ialah membuka beberapa kemungkinan penafsiran dan makna.

Terus-terang, bahkan semenjak MUI mengeluarkan pemikiran ‘haram’ menentukan pemimpin non-Muslim alias ‘kafir’ terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, saya sudah memperkirakan bahwa pemikiran itu akan berkembang menjadi bola liar. Bagi kelompok-kelompok tertentu pemikiran tersebut menjadi preseden untuk melaksanakan aneka macam tindakan yang melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Apalagi pemikiran tersebut kental dengan aroma politik alasannya ialah terkesan untuk menjegal tampilnya Ahok dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta.

     Faktanya bola panas pemikiran tersebut faktual adanya. Pasca pemikiran haram pemimpin nonmuslim tersebut terjadi aneka macam tindakan yang melanggar KBB mirip pembubaran paksa pelaksanaan kebaktian umat Kristiani di Sabuga Bandung maupun pembongkaran paksa baliho penerimaan mahasiswa gres di Kampus Universitas Nasrani Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang dilakukan sebuah ormas Islam.

Alasannya alasannya ialah baliho tersebut menampilkan salah satu mahasiswa Muslim berjilbab yang dianggap tidak pantas alasannya ialah menggunakan atribut Muslim di sebuah kampus Kristen, meski faktanya di kampus tersebut juga terdapat banyak mahasiswa Muslim. Begitu pula dengan “efek samping” pemikiran MUI perihal larangan penggunaan atribut Natal, telah mengakibatkan sejumlah ormas Islam melaksanakan agresi “sweeping” di beberapa sentra perbelanjaan dan mall mirip yang terjadi Surabaya.


Sumber : wikipedia
Sejatinya MUI itu ialah “payung” yang harus mengakomodasi aneka macam varian dan ‘citarasa keagamaan’ yang memang cukup banyak di kalangan umat Islam. Meski dahulu posisi dilematis MUI dilukiskan Buya Hamka mirip “kue bika”---karena harus mengompromikan kepentingan pemerintah (atas) dan masyarakat (bawah)---namun betapapun ia ialah penjaga ortodoksi resmi yang masih diakui oleh pemerintah maupun umat. Karena itu, MUI semestinya lebih bijak dan hati-hati dalam mengeluarkan fatwa.

Fatwa MUI seharusnya tetap diletakkan dalam konteks kepentingan bangsa secara luas, menjaga integrasi bangsa. Artinya MUI pun mengemban kiprah keagamaan sekaligus kiprah kebangsaan. Kendati pemikiran itu hanyalah sebuah “pendapat hukum” (legal opinion) dan karenanya tidak selalu mengikat, namun sebagai penjaga ortodoksi keagamaan maka pemikiran MUI tetaplah mempunyai implikasi etis maupun praksis.

Karena itu pemikiran haruslah benar-benar dilakukan oleh orang-orang yang, di samping mempunyai otoritas dan kapabilitas, juga independen; bukan alasannya ialah faktor tekanan, kebencian atau pesanan pihak tertentu. Meski pemikiran haram mengucapkan selamat Natal dikala MUI dipimpin Buya Hamka pada 1980-an ditentang rezim Soeharto, namun siapapun tak mencurigai independensi dan ketulusan Buya Hamka.

Meski sebagian umat Islam keberatan dengan pemikiran tersebut namun orang tetap menghormatinya. Sikap hormat itu bukan semata alasannya ialah kelembagaan MUI-nya tapi lebih pada pribadi Buya Hamka yang memang dikenal bersih, santun, sederhana, berwibawa dan karenanya sangat disegani baik oleh umat Islam maupun penganut agama lain. Dengan kata lain, sanggup dikatakan pribadi Buya Hamka lebih besar dari forum MUI.

Baca juga artikel " Kaum Muda Menatap Masa Depan Lewat KNPI "

       Keadaannya berbeda dengan MUI sekarang. Dalam beberapa hal pemikiran MUI kerap mengakibatkan resistensi bahkan dianggap “memprovokasi” sebagian kalangan melaksanakan tindakan-tindakan yang dianggap menciderai keluhuran Islam. Fatwa MUI bukannya memperlihatkan “kedamaian” dan “ketenangan” tetapi malah mengakibatkan guncangan dan kontroversi yang kurang produktif. Publik menangkap kesan kuat bahwa pemikiran MUI cenderung “terburu-buru” tanpa mempertimbangkan imbas sampingnya tadi, bahkan dalam beberapa hal fatwanya beraroma “radikal”, sesuatu yang belum ada presedennya dalam sejarah fatwa-fatwa MUI.

Karena itu perubahan dan kecenderungan-kecenderungan ini kiranya menarik diteliti: benarkah internal MUI kian ‘dikuasai’ atau didominasi kelompok-kelompok Islam ‘garis keras’ sehingga mengakibatkan pemikiran dan wajah MUI menjadi berubah? Seperti diungkapkan Martin van Bruinessen (1992: 17) bahwa ukuran ‘mainstream’ atau ‘ortodoksi’ itu berdasarkan standar kriteria lembaga-lembaga keagamaan mapan (padahal mapan tidak identik dengan benar lho!).

Malah, kata Bruinessen, yang dianggap ortodok itu pun berdasarkan paham mayoritas ulama atau golongan yang dominan. Di atas semua itu, sebuah ortodoksi juga sangat bergantung pada situasi dan arah pendulum politik penguasa. Dengan demikian kriteria ‘sempalan’ dan ‘ortodoksi’ itu bersifat tentatif. Bukankah Muhammadiyah yang hari ini menjadi paham ortodoksi pada mulanya justru dianggap ‘sempalan’ oleh kelompok keagamaan mayoritas?.


Sumber : http://news.metrotvnews.com


        Hal ini penting diingat karena, mirip dikemukakan, pemikiran MUI tetaplah mempunyai implikasi serius secara teologis maupun sosial. Fatwa akan tetap mempunyai konsekuensi “negasi” dan “konfirmasi” bahkan “persekusi” sebagaimana terlihat dari pengusiran bahkan penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah (di Lombok Timur dan Cikeusik, Tasikmalaya) atau penganut Syiah (Sampang, Madura) pasca pemikiran ‘sesat’ oleh MUI. Kasus terbaru ialah pemikiran larangan penggunaan atribut keagamaan menjadi titik-masuk bagi sekelompok kecil umat Islam untuk mengganggu dan meneror kebebasan beragama orang lain. Padahal dalam interaksi antarbudaya bahkan antaragama peluang untuk saling “meminjam” atau “mengadopsi” itu sulit terhindarkan.

Dalam konteks Islam, sebagai agama paling’bungsu’ dibandingkan dua ‘abang’nya Yahudi dan Nasrani maka proses meminjam dan mengadopsi tersebut lebih tinggi lagi sebagaimana dalam tradisi menggunakan jilbab dan cadar, model menara mesjid atau penggunaan bendera dalam peperangan---yang sudah ada semenjak zaman pra Islam.

Di Indonesia tradisi penggunaan kopiah hitam yang digunakan kaum Muslim untuk salat berasal dari pakaian buruh dan kuli bernafsu di Rusia sebelum Indonesia merdeka. Soekarnolah---sebagai bentuk keberpihakkannya kepada rakyat kecil tertindas---yang berjasa memperkenalkan kopiah hitam sampai menjadi identitas nasional sampai sekarang. Kopiah hitam bukan semata pakaian untuk ibadah kaum Muslim tapi juga aksesoris resmi yang bahkan digunakan oleh pejabat-pejabat negara non Muslim dalam acara-acara kedinasan atau formal kenegaraan mirip foto peresmian kabinet, bahkan digunakan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dikala peringatan tujuhbelasan. Begitu pula sarung yang identik busana untuk ibadah kaum Muslim Indonesia semula merupakan pakaian yang digunakan umat Hindu di wilayah India selatan. Demikian pula dengan “baju koko” yang kini dengan besar hati kita klaim sebagai “baju Muslim” atau “baju takwa” diadopsi dari Cina maupun penggunaan biji tasbih untuk memudahkan penghitungan dalam ritual zikir dan wirid berasal dari tradisi keagamaan kaum Hindu. Malah pada tahun 1930-an jas dan dasi, termasuk kini yang sering digunakan oleh pejabat Komisi Fatwa MUI, dulunya juga pernah diharamkan oleh ulama alasannya ialah dianggap mirip pakaian kaum ‘kafir’ mirip penjajah Belanda.

Dengan demikian pertautan antara “budaya” dan “agama” itu sulit dibedakan. Dalam kenyataannya kedua ranah itu seringkali saling mengisi dan membaur menjadi satu. Banyak acara atau insiden yang semula dipandang sebagai insiden budaya tapi kemudian berkembang menjadi insiden atau acara agama. Sepak bola dan musik ialah dua contohnya. Di beberapa klub raksasa sepak bola dunia terdapat sejumlah pemain Muslim yang merumput mirip Mesut Ozil (Arsenal), Samir Nasri (Real Madrid) atau Ibrahimovic (MU) yang secara impulsif sering mengekspresikan kegembiraan dengan melaksanakan sujud syukur di lapangan usai mencetak gol di gawang lawan. Maka pada momen itu sepak bola itu berubah dari “peristiwa” atau “fenomena kultural” menjadi “fenomena agama”. Begitu pula musik. Pada awalnya orang memandang permainan musik sekadar hiburan atau verbal seni semata, bahkan sumber ‘kemaksiatan’ namun begitu musik menampilkan lirik atau syair-syair religi maka serta merta pandangan itu berubah: dari sekadar “fenomena sekular” menjadi media memberikan risalah Tuhan (media dakwah).

Dalam suatu pengajian yang saya ikuti di sebuah masjid di Dompu beberapa tahun lalu, seorang ustad dengan keras mengeritik pola dakwah melalui jalur politik (dakwah siyasah) sebagaimana dilakukan teman-teman kita di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun melalui seni musik.

Sembari memperlihatkan sejumlah dampak negatif yang ditimbulkannya (seperti timbulnya korupsi dan politik uang), dia menyatakan bahwa taktik dakwah melalui politik semacam itu tidak dicontohkan Rasulullah SAW. Buktinya, katanya, Nabi tidak pernah mendirikan partai politik; keberhasilan dakwah dia ditempuh melalui dakwah konvensional.

Begitu pula dakwah melalui musik tidak pernah dilakukan oleh Nabi. “Saya mau tanya ada berapa orang yang masuk Islam atau bertambah keimanannya sesudah mendengarkan lagu Rhoma Irama atau Opick?” tanya Ustad ini. Tentu saja pandangan ini agak simplifikatif, terlalu menyederhanakan masalah. Faktanya, dalam sebuah wawancara TV nasional, Dewa Bujana---gitaris Band Gigi---memberikan testimoni, bagaimana syair-syair religi yang dinyanyikan kelompok grup band ini memperlihatkan imbas kepada penggemar maupun para personelnya. Misalnya, berdasarkan Bujana, teman-temannya yang tadinya salatnya bolong-bolong menjadi lebih disiplin menjalankan perintah agamanya.

Penyebabnya, kata Bujana, para personel sering menerima apresiasi dari penggemar atas lagu-lagu mereka. Kata Bujana lagi, seorang fans dari kawasan sempat menelpon dan memberikan rasa haru alasannya ialah tersentuh dengan lagu-lagu Gigi, bahkan menciptakan yang bersangkutan menjadi lebih rajin beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan. Apresiasi dan ratifikasi dari para fans mirip itulah, kata Bujana, sehingga menciptakan teman-temannya menjadi ‘malu’ dan terdorong untuk disiplin menjalan perintah agamanya. Alasannya jelas, kata Bujana, “Kalau fans kita saja sanggup berubah sesudah mendengar musik kita, masak sih kita sendiri enggak?”.

Jadi, kembali pada topik tadi bahwa faktanya terjadinya pertautan lintas budaya bahkan lintas agama itu biasa terjadi bahkan kadang sulit dihindari.

Dalam penelitian Wawan Djunaedi (2008) perihal keterlibatan sejumlah Muslim dalam atraksi barongsai di Klenteng Bon Bio Surabaya menemukan bahwa, di samping dianggap tidak kuat terhadap keyakinan pribadi sebagai Muslim keterlibatan mereka juga sanggup menjadi medium praktik counter stereotype terhadap info SARA.

.Jadi begitulah, banyak sekali atribut yang semula dianggap sebagai simbol agama tertentu kini dianggap sekedar simbol atau atribut budaya saja. Orang India sangat besar hati dengan kemegahan bangunan Taj Mahal, padahal bangunan itu merupakan kuburan istri raja Raihan pada masa kejayaan Kerajaan Mughal di India, sebagaimana orang Indonesia (termasuk yang Muslim) besar hati dengan bangunan Candi Borobudur peninggalan Kerajaan Budha---sebagai salah satu keajaiban dunia.

Saya khawatir kalau nanti ada seorang Muslim yang menggunakan kaos dan bergambar candi serta merta dianggap menggunakan atribut agama lain. Lebih parah lagi kalau dituduh telah melaksanakan penistaan agama tertentu, repot kan?.

supaya bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

0 Response to "“Kotak Pandora” Anutan Mui || Ilyas, M.M.Pd"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel