Fahri Hamzah, Sudahlah..... || Ilyas, M.M.Pd

Berkat kedekatan dengan teman-teman penggagas Islam maka semenjak Pemilu 1999 Pemilu pertama masa reformasi---saya memantapkan hati menentukan Fahri Hamzah sebagai anggota dewan perwakilan rakyat RI dari Dapil NTB.

Seperti belum dewasa muda lainnya aku pun ingin secepatnya keluar dari kepengapan politik rezim Orde Baru dan bergabung dengan salah satu partai sebagai jalan demokrasi.

Saya pun menjatuhkan pilihan pada Partai Keadilan (sebelum menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS). Tanpa ragu sedikitpun. Slogan “bersih dan profesional” yang disematkan oleh pendiri harian “Kompas” Jakob Oetama kepada PKS kian menunjukan bahwa peran politik partai dakwah ini tidak hanya menerima simpati dari umat Islam tapi juga nonmuslim.

Selain dikenal “bersih” PKS juga diidentikkan oleh publik sebagai partainya belum dewasa muda Islam yang energik dan santun.

H. Fahri Hamzah, S.E.
Sebagai bukti kecintaan itu, aku juga memamah media-media yang berhubungan dengan PKS menyerupai majalah “Tarbawi” atau “Siyasah” maupun media Islam yang mendukung peran politik PKS contohnya majalah “Suara Hidayatullah” dan “Sabili”.

Saya juga mengagumi sepak terjang lembaga-lembaga pendidikan dan ekonomi yang dikelola oleh para kader PKS seperti sekolah Islam Terpadu, forum zakat Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) maupun Rumah Zakat Indonesia (RZI). Dari semua itu tabloid “Aliansi Keadilan”lah yang “mempertemukan” aku dengan Fahri Hamzah (FH).

Meski sama-sama dari NTB tapi sebelumnya aku tidak banyak mengetahui wacana kiprahnya, kecuali pernah sekali aku membaca artikel opininya bersamaan dengan artikel aku yang pernah dimuat di majalah “Suara Hidayatullah”.

Tentu saja sampai sekarang pun FH tidak mengenal saya, kendati ketika berkunjung ke Dompu aku sempat beberapa kali mengikuti aktivitas yang dihadirinya di DPD PKS Dompu.

Setelah beliau memimpin KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) barulah aku mulai mengenal perannya lebih luas terutama dalam gerakan kemahasiswaan di Tanah Air. Saya pun rajin mengikuti dan membaca kolom-kolomnya yang muncul secara rutin di tabloid “Aliansi Keadilan”. Kesan sementara saya, FH merupakan calon pemimpin Indonesia masa depan. Sosoknya meyakinkan: muda, cerdas, berani dan tentu mempunyai akad keislaman yang tak diragukan.

Sumber: wikipedia
Tetapi mulai 2013 aku mulai ragu dengan figur ini alasannya yaitu mulai sering melontarkan beberapa pernyataan kontroversial dan kontraproduktif. Salah satu yang aku ingat yaitu pernyataan kerasnya yang mengecam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dinilainya lebih menyerupai LSM ketimbang forum penegak hukum. Dia menuduh forum antirasuah itu cenderung ‘tebang pilih’ dalam pemberantasan korupsi. Terus-terang aku kaget dengan serangan FH ini.

Saya juga kecewa alasannya yaitu beliau seolah tidak memberikan keberpihakannya pada upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air yang sudah kronis. Ketika publik mempertanyakan rendahnya produktivitas dewan dalam menghasilkan legislasi, lagi-lagi orang ini menanggapinya dengan enteng dan angkuh “Memangnya negara ini eksklusif bubar tanpa legislasi?”.

Dalam Pileg 2014 aku sudah mulai patah arang untuk memilihnya kembali sebagai legislator. Saat itu aku hendak menjatuhkan pilihan pada salah satu caleg yang berasal dari Bima yang berlatarbelakang guru. Sebagai orang yang berprofesi sebagai guru, aku menaruh impian pada caleg ini. Namun ketika aku mendiskusikan pilihan itu dengan istri aku berubah pikiran.

Setelah melalui diskusi yang cukup ‘alot’, istri memberikan keraguannnya akan kemampuan calon aku dalam memperjuangkan aspirasi kami warga NTB di dewan perwakilan rakyat Pusat. Istri mencoba meyakinkan aku bahwa alasannya yaitu usaha di dewan itu cukup ‘keras’, katanya, sehingga kami pun membutuhkan caleg yang ‘mumpuni’. Dan, dari sekian caleg Dapil NTB, pilihan kami jatuh pada FH. Saya dan istri mencoba ‘melupakan’ pernyataan-pernyataan kontraproduktif FH sebelumnya.

Sayang sekali, belum hilang kekecewaan itu, kami lagi-lagi dikagetkan dengan twit heboh FH yang merendahkan para pekerja migran kita yang justru sedang berjuang merebut hak-hak ekonominya di negeri orang. Kasus terbaru yaitu sikapnya yang absolut ketika memimpin Rapat Paripurna pengajuan hak angket terhadap KPK dalam kasus korupsi e-KTP sehingga berbuah agresi walk-out sebagian fraksi.

Kabarnya kasus ini melibatkan sejumlah politisi Senayan, sebagaimana terungkap dari keterangan dan kesaksian Miryam Haryani, politisi Partai Hanura, di depan pengadilan. Publik dengan gampang membaca arah penggunaan hak angket sebagai bentuk resitensi dewan perwakilan rakyat atas keterlibatan sejumlah rekan mereka dalam mega korupsi e-KTP itu. Secara perlahan perilaku maupun pernyataan-pernyataan FH yang melawan nurani publik semacam ini alhasil semakin mengubah persepsi aku wacana sosok ini.

Saya bergaul dan mengenal beberapa rekan dari PKS. Mereka umumnya dikenal sangat santun dan rendah hati. Saya juga banyak berguru kepada mereka wacana keistiqomahan dalam beragama serta disipilin dalam ibadah. Tetapi sosok FH telah mengubah semuanya. Saya jadi merenung, jikalau politisi Islam bergaya koboi ala FH ini terus berbiak maka aku ragu untuk menentukan partai Islam lagi. Indikatornya sederhana sekali: jikalau untuk menata ucapan saja masih susah apatah lagi menata negara? Bagian badan yang paling berbahaya dari FH aku kira yaitu lidahnya. Ya, lisannya. Maka pada Pileg 2019 mendatang aku sudah memantapkan hati untuk move on dari orang ini. Selamat tinggal politisi Islam.

Semoga bermanfaat untuk semua " "

0 Response to "Fahri Hamzah, Sudahlah..... || Ilyas, M.M.Pd"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel