“Roh Allah + Lempung Kedaluwarsa = Manusia” || Chery Malingi (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang)

 Chery Malingi
       Tepat pada hari, Jum’at tanggal, 7 April 2017. Pukul 22 : 11 WIB, pada kesempatan ini penulis menorehkan kata demi kata untuk berusaha mewujudkan kalimat dalam bentuk balasan dari pertanyaan seorang yang penulis anggab pertanyaan itu sangat tajam, sekaligus menyangkut hakekat dan keberadaan penulis sebagai mahluk, atas ratifikasi diri sebagai mahluk dimuka bumi, sebagai mahluk yang mempunyai hasrat untuk mengakui tinggi kederajatan dibandingkan dengan mahluk lain, sebagai makluk memberanikan diri untuk mengemban satu amanah dari pencipta-Nya.

       Maka penulis dengan segala kemampuan tenaga dan fikiran yang minim untuk menganalisa dari cerita dan insiden Adam dalam Al-Qur’an, yang ditelaah dari segi antropologi. Penciptaan Adam dalam Al-Qur’an yaitu penyataan humanis yang paling dalam dan paling maju. Adam mewakili seluruh manusia. Adam yaitu esensi ummat manusia, dalam pengertian filosofis, bukan dalam pengertian biologis. Bila Al-Qur’an berbicara wacana insan biologis, maka bahasa yang dipergunakan yaitu bahasa ilmu-ilmu alam, dengan menyebutkan sperma, gumpulan darah, janin dan lain sebagainya. Tetapi begitu hingga pada insiden Adam, maka yang dipergunakannya yaitu bahasa metaforsis dan filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia, yakni esensi kodrat rohaniah dan atributnya, sebagaimana yang dilukiskan dalam cerita Adam, bisa direduksi menjadi semacam rumus.

       “Lempung busuk” dan “Roh Allah” merupakan dua simbol atau indikasi secara konkret insan tidak diciptakan dari lempung bacin (ham’in masnun; Al-Qur’an, 15 : 26, 28, 33) ataupun roh Allah (Al-Qur’an, 14:29,38,72) alasannya yaitu kedua istilah itu harus diberi makna simbolis. “lempung busuk” yaitu simbol kerendahan, stagnasi dan pasisvitas mutlak, sedangkan “roh Allah” yaitu simbol dari gerakan tampa henti kearah kesempurnaan, dan kemuliaan yang tidak terbatas. “roh Allah” merupakan ungkapan terbaik untuk menyatakan maksud demikian.

         Di dalam penyataan Al-Qur’an bahwa insan adonan “Roh Allah” dan “Lempung Busuk” ada persamaan-Nya dengan apa yang dikemukakan Blaise Pascal seorang filosof prancis bahwa :



"makhluk yang berada diantara dua infinita-infinita kerendahan serta kelemahan di satu pihak sedang dipihak lain ialah infinita-infinita keagungan dan keilmuan”.
(Dua Ifinita: 1623-1662) 

        Pada hal ini penulis melihat ada perbedaan besar antara apa yang dikatakan Pascal dan ungkapan Al-Qur’an meskipun keduanya mengemukakan keberadaan yang sama. Seperi perbedaan Pasca dan Allah. Suatu manusia, mempergunakan peristilahan eksistensialisme, atau disposisi primodial (fitrah) manusia, kedua istilah ini mengisyaratkan kodrat insan yang dua dan mengandung kontradiksi, yang bisa disimpulkan dari Al-Qur’an sebagai berikut “manusia yaitu suatu kehendak bebas dan bertangung jawab yang menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan Allah dan Setan. Kombinasi kedua hal yang berlawanan ini tesis dan antitesis yang terdapat dalam kodrat dan nasib manusia, tidak sanggup menjadikan dalam dirinya gerak dialektis dan evolusioner serta suatu pergulatan konstan antra kedua kutub yang berlawanan dalam esensi dan dalam hidupnya.


Baca juga artikel " Implementasi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan

     

           Gabungan hal-hal yang berlawanan dan pertentangan dalam diri insan yaitu Allah dan Setan, atau roh dan lempung menjadikan insan suatu realita dialetis. Artinya tentu penulis sadar bahwa kedua hal yang berlawanan itu tidak mungkina digabungkan, yang serba kontradiksi. Tetapi ini yaitu kaidah budi Aristotelian, yaitu budi yang formal dan abstrak. Sedangkan dieletika tidak bersangkut paut dengan bentuk-bentuk abnormal melainkan hanya dengan realitas obyektif. Yang dipermasalahkannya  bukan jalan fikiran dan bentuk-bentuk intelektual, melainkan gerak objektif dari fenomena alamiah. Di dalam pikiran suatu benda mustahil panas dan dingin, besar  atau kecil dalam waktu yang bersamaan. Namun di dalam alam, itu bukan saja mungkin  tetapi itu benar-benar ada.

         Akal tidak bisa mendapatkan mati dan hidup sekaligus, alasannya yaitu maut dan kehidupan selalu saling meniadakan. Tetapi dalam alam maut mati dan hidup selalu saling bersamaan dan selalu saling berada di dalam yang lainnya. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Sebatang pohon, seekor hewan, seorang manusia, situasi sosial, cinta kasih ibu, sementara semua hidup dan berkembang menuju atau melangkah menuju usia renta dan mendekati maut masing-masing, ibarat ungkapan Hadhirat Ali bahwa :

 “...nafas yang dihirup oleh seseorang sekaligus merupakan langkahnya menuju maut, nafas kehidupan sendiri yaitu gerak kepada kematian”.


Dengan apa insan menemui Allah SWT?

        Pada dialetis ini akan penulis hadapkan pada suatu balasan dan analisi otologis. Allah dan roh Allah labing, kesucian, keindahan, kemegahan, cinta, kreativitas, keindahan, pengetahuan, cinta, rahmat, kesadaran, kebebasan, kedaulatan, dan pengabadian mutlak tidak terbatas, terkandung dalam diri insan sebagai suatu potensialitas, sebagai suatu tarikan yang mengangkatnya kearah puncak, kepada keagungan surgawai. Kaprikornus dengan roh Allah di dalam dirinya, insan mengalami mi’taj ke dalam lingkungan daulat Allah, diasuh dibesarkan dengan serba-atribut dan karakteristik Allah, sejauh jankauan ilmu pengetahuan. Sadar akan serba diam-diam alam, insan menjadi penguasa yang menikmati kerajaan dunia; yaitu dengan semua kekuatan material dan spiritual jatuh bersujud dihadapannya, bumi dan langit, matahari, bulan, dan bahkan malaikat  Allah, termaksud yang paling tinggi diantara mereka. Jadilah insan sekaligus mahluk dan khalik, sekaligus hamba dan yang dipertuan; ia yaitu kehendak yang sadar, terang kreatif, menentukan, arif, bijaksana, mempunyai tujuan, murni dan luhur, ia yaitu pendukung amanah Allah dan khalifah-Nya di bumi, ia yaitu mahluk abadi surga.

Kenapa hingga begitu?

           Karna setengah dari diri insan terdiri atas roh Allah; ini yaitu suatu tesis, suatu yang sudah pasti, suatu fondasi, yang memungkinkannya terbang melaksanakan mi’raj kearah yang mutlak kearah Allah dan sifat keilahiah, yang mendorong untuk bergerak. Tetapi ada suatu kekuatan yang menentang potensialitas tersebut yang menarik hati dan menyeretnya kebawah, kepada stagnasi kekuatan immobilitas, maut, kerendahan dan keburukan, ialah antitesis yang menyangkal. Menentang serta melawan tesisnya sebagai manusia.

       Jarak antar roh Allah dan lempung bacin yaitu jarak antara dua infinitas, maka insan merupakan “keraguan” setangkai kayu yang berdayung antara kedua arah itu, kehendak bebas yang berhadapan dengan pilihan yang berat dan runut, apakah ia akan menentukan roh Allah ataukah akan terbenam dalam lempung bacin di bawah endapan air. Manusia yang di dalam dirinya tergabung dua unsur yang berlawanan yaitu zat yang dialetis dan merupakan mu’jizat, dualitas Allah dan Syaitan, (zarwan terang dan zarwan gelap) dalam anggapan agama-agama dualitas ibarat kaum Zeroaztrianisme dan Mancheisme. Penulis melihat dualitas islamiah tidak berlawanan dengan tauhid. Pada Islam-pun di dalam alam tidak ada problem pertentangan atau pertarungan dualitas antara Ahuramazda dan Ahriman. Kontradiksi hanya ada pada diri manusia.

         Syaitan bukanlah antitesis Allah, ia yaitu mahluk-Nya yang lemah dan tunduk, yang diberi izin oleh Allah untuk menjadi lawan manusia. Dengan perkataan lain syaitan tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Ia yaitu antitesis Allah, ia yaitu antitesis dari potongan ilahiah diri manusia, dan pertarungan terang dan gelap, antara Allah dan Iblis berlangsung di dunia manusia, dalam masyarakat maupun dalam diri seseorang. Manusia yaitu kombinasi Allah dan Iblis. Alam semesta yaitu wilayah kedaulatan Allah, seluruhnya yaitu serba nur, kebaikan dan keindahan, di dalamnya tidak ada pertentangan baik dan buruk.

          Dalam esensi dan fitrah hidupnya insan yaitu “arah yang tidak terhingga” menuju lempung atau menuju Allah. Dalam konteks ini Ali Syari’ati, (Manusia dan Agama; 123) mempunyai kesamaan dalam peristilahan, dengan apa yang dipergunakan oleh para sufi, para resi India dan Platonis maupun para ulama Islam, tetapi apa yang diungkapkan oleh Ali Syari’ati, tidak mengacaukan dengan pandangan mereka. 

        Adanya Allah dalam diri insan yaitu sebagai arah yang memungkinkan insan berjuang kearah Allah, dan esensi yang mutlak dan kesempurnaan yang tidak terhingga. Ayat yang sangat dalam hikmahnya; “sesungguhnya segalah mahluk milik Allah dan kepadanya akan kembali” yang direfleksikan dengan kalimat “Innalillahi wa inna dewa roji’un” (Al-Qur’an, 2;156). Allah ada dalam ketidak terhinggaan (infinitum) demikianlah insan bergerak dari kerendahan serendah-rendahnya kearah kemuliaan setinggi-tingginya, tujuannya ialah roh Allah keabadian. Manusia yaitu “pemilihan” perjuangan, proses insiden yang konstan. Ia yaitu hijrah tampa batas yakni hijrah di dalam dirinya sendiri, dari lempung kepada Allah, ia yaitu muhajir dalam jiwanya sendiri. Dengan itu jalan yang terbentang antara lempung dan Allah, perspektif penulis yaitu itulah yang disebut dengan “agama”.



     Dari totalitas anasir yang timbul dari cerita Adam dalam Al-Qur’an penulis memberika kesimpulan; Manusia yaitu suatu zat theomorfis dalam pengasingan, kombinasi dua hal yang berlawanan, fenomena dialetis yang terdiri atas oposisi “Roh Allah + lempung = Manusia”. Ia di usir dari nirwana dan dibuang ke alam yang tandus, dengan tiga aspek: cinta (hawa), budi (setan) dan pemberontakan (buah larangan). Dengan itu ia diperintah untuk membuat nirwana insan dalam alam kawasan pengasingan.

Sekian dan Terimakasih

“Iblis tidak pernah berbohong, tetapi Iblis di beri izin untuk menguji konsistensi atas kebenaran pilihan manusia"
(Chery Malingi)


Semoga Bermanfaat Untuk Semua " "



0 Response to "“Roh Allah + Lempung Kedaluwarsa = Manusia” || Chery Malingi (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel