Menimbang Pembentukkan Provinsi Pulau Sumbawa || Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)

         Setelah usang karam wacana pembentukkan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) kini mencuat lagi. Keinginan untuk berpisah dari Provinsi NTB itu muncul bersamaan dengan ekspresi dominan pemekaran masa reformasi yang ditandai dengan pembentukkan Komite Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KPPPS) pada 2001. Sekadar info bagi yang luar NTB bahwa secara geografis Provinsi ini terdiri atas pulau yakni Lombok dan Sumbawa.

Ilyas, M.M.Pd

Pulau Lombok yang berada di cuilan barat Provinsi terdiri atas 5 kabupaten/kota yakni
  1. Kota Mataram
  2. Kabupaten Lombok Barat
  3. Lombok Tengah
  4. Lombok Timur 
  5. Kabupaten Lombok Utara
Pulau Sumbawa di cuilan timur mencakup
  1. Kabupaten Sumbawa, 
  2. Kabupaten Sumbawa Barat
  3. Kabupaten Dompu
  4. Kabupaten Bima 
  5. Kabupaten Kota Bima
Terdapat 3 etnis sekaligus 3 bahasa tempat di NTB yakni
  • etnis Sasak (bahasa Lombok)
  • Samawa (Sumbawa) 
  • Mbojo (Bima Dompu)
Peta P. Sumbawa

      Dalam Sidang Paripurna dewan perwakilan rakyat beberapa waktu kemudian nama PPS bekerjsama termasuk yang mendapat prioritas untuk dimekarkan, namun entah kenapa ia tiba-tiba ‘hilang’ dalam detik-detik terakhir. Saya tidak tahu bagaimana pertarungan politik yang terjadi di Senayan sehingga pembentukan PPS ini bisa kandas. Yang pasti, alasannya yakni pembentukan tempat otonom itu yakni keputusan politik maka kegagalan itu mengindikasikan adanya ‘the something wrong’ dalam negosiasi, konsesi dan lobi-lobi politik di legislatif maupun eksekutif. Kegagalan tersebut terperinci akan menjadikan kekecewaan terutama kepada pihak yang menghendaki pemisahan wilayah itu.

       Menjelang Festival Pesona Tambora (FPT) pada 11 April 2017 kemarin, di media umum sejumlah kalangan muda Pulau Sumbawa juga ramai memunculkan kembali wacana pembentukan PPS itu. Beberapa perwakilan kaum muda dari lima kabupaten/kota tersebut malah hendak melaksanakan agresi ‘demo’ untuk menagih kesepakatan pemerintah Pusat terkait PPS tersebut. Saya tidak tahu apakah agresi tersebut benar-benar dilakukan atau tidak. Tetapi saya melihat gaung wacana PPS kini tidak terlalu besar dibandingkan waktu ada KPPPS dulu. Tetapi benarkah PPS itu benar-benar diperlukan? Ada beberapa catatan yang berdasarkan saya penting untuk dicermati.

       Pertama, wacana pemekaran wilayah kerapkali lebih mencerminkan aspirasi para elite ketimbang pemerataan pembangunan maupun kesejahteraan masyarakatnya. Hal itu terlihat dari capaian maupun kemajuan pasca otonomi itu. Beberapa tempat malah mengalami kemunduran sesudah pemekaran. Contohnya Provinsi Banten. Kendati sudah 10 tahun berpisah dari Jawa Barat, namun angka kemiskinan di Banten malah semakin naik dari. Menurut BPS Provinsi Banten, jikalau pada Maret 2012 tingkat kemiskinan mencapai 652.766 jiwa maka Maret 2013 naik menjadi 656.243 jiwa dari total 11,2 juta penduduknya (Kompas, 25 Oktober 2013). Distorsi otda semacam ini juga terjadi di tempat lain menyerupai Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Seperti dilansir Kompas (27 Mei 2010), rekor kabupaten gres ini mungkin sulit ditandingi tempat lain alasannya yakni gres 10 tahun semenjak dimekarkan dari Kabupaten Flores Timur semenjak 1999 telah mempunyai tiga kantor bupati. Tidak kurang dari 30,7 miliar anggaran yang dihabiskan untuk membangun tiga kantor bupati di tengah 30 persen warga miskin dari 116.544 penduduk Lembata. Pemborosan ini juga dilakukan di tengah keterpurukan pendidikan dimana hampir 87 persen siswa Sekolah Menengan Atas di Lembata tidak lulus ujian nasional tahun 2010.

        Kedua, wacana pemekaran terkesan dipaksakan tanpa dukungan banyak sekali sumberdaya (manusia, alam, keuangan) yang memadai. Akibatnya, menyerupai ditunjukkan oleh hasil penilaian Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri beberapa tahun lalu, dari hampir 60 kabupaten/kota hanya tiga tempat saja yang mendapat skor yang memadai dalam hal kemampuan melaksanakan otda baik dari aspek kemampuan SDM, pengelolaan keuangan dan kemampuan birokrasi. Padahal berdasarkan hasil penelitian FISIP UGM-Depdagri menyimpulkan bahwa ada enam variabel yang sanggup dijadikan indikator kemampuan tempat dalam pelaksanaan otonomi tempat yaitu kemampuan keuangan, aparatur, partisipasi masyarakat, ekonomi daerah, demografi, organisasi, dan manajemen (Ekosiswoyo dalam Supriyoko dkk, 2003: 31). Ini belum lagi alokasi anggaran yang cukup besar yang harus disiapkan untuk keperluan Pilkada atau Pemilu yang seringkali banyak menyedot energi politik maupun ekonomi bangsa ini.

KP3S
Sumber : kabarindonesianews

          Menurut catatan Kompas (28 Juni 2013) semenjak diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005, tak kurang dari 1.027 Pilkada (bupati/walikota/gubernur) di Indonesia. Pada 2012 terdapat 73 Pilkada terdiri atas enam pemilihan gubernur dan 67 pemilihan bupati dan walikota. Ini berarti sepanjang 2012 rata-rata berlangsung Pilkada setiap lima hari sekali. Bahkan pada 2013 intensitas Pilkada lebih tinggi lagi, setiap dua hari diselenggarakan hajatan demokrasi lokal. Sebanyak 14 provinsi dan 135 kabupaten/kota menggelar Pilkada. Pesta demokrasi lokal ini pun kerap diwarnai konflik yang disertai kekerasan. Periode dua tahun pertama penyelenggaraan Pilkada (2005-2007), setidaknya 98 tempat dari 323 tempat yang menyelenggarakan Pilkada dirundung masalah. Tak kurang dari penyelenggaraan 21 Pilkada berakhir bentrokan dan kerusuhan. Kerusuhan yang menonjol selama Pilkada 2013 yakni terjadi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan dan Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Di sisi lain, pelaksanaan pesta demokrasi (Pilpres, Pileg, Pilkada) yang terlalu padat tersebut telah menyedot anggaran yang tidak sedikit. Sebagai citra untuk keperluan Pemilu 2009 KPU mengajukan anggaran Rp 8,2 triliun dan 14,1 triliunan untuk keperluan tahun 2009. Sedangkan untuk Pemilu 2014 KPU mengajukan anggaran Rp 8 triliun, lebih rendah 200 miliar dari pengajuan 2009. Itu gres biaya penyelenggaraan Pemilu yang diambil dari APBN, sedangkan biaya kandidat yakni biaya yang dikeluarkan tiap calon bervariasi mulai dari ratusan juta rupiah sampai mencapai Rp 20 miliar (Kompas, 28 Juni 2013).

        Meski ada sedikit tempat yang mengatakan capaian yang mengesankan, namun penerapan otda yang jelek terlihat hasil pantauan Tim Kerja Pusat Implementasi Otonomi Daerah yang menemukan beberapa permasalahan pelaksanaan otonomi tempat yaitu

  1. didapatkannya beberapa peraturan tempat dan keputusan kepala tempat yang tidak sejalan dengan kepentingan umum atau dan peraturan perundang-undangan menyerupai persepsi yang kurang sempurna wacana kewenangan.
  2. pembentukan forum tempat yang tidak proporsional dengan aktivitas dan kewenangannya.
  3. penempatan personil yang menjurus kedaerahisme dan tidak berdasarkan profesionalisme.
  4. tidak tercerminnya prioritas pembangunan pendidikan/SDM dalam alokasi.
  5. timbulnya kerancuan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
  6. belum lengkapnya akomodasi dari pemerintah sentra sesuai UU otonomi tempat (Abubakar dalam Hamid&Malian, 2005: 234).

         Khusus yang berkaitan dengan peraturan daerah, pada 2011 sekitar 4.000 Perda yang terpaksa dibatalkan oleh Kementerian Hukum dan HAM alasannya yakni dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia, diskriminatif serta merugikan tempat itu sendiri. Padahal dana yang dihabiskan untuk pembuatan Perda tersebut mencapai 1,2 triliun alasannya yakni rata-rata tiap Perda membutuhkan anggaran antara 100 juta-300 juta rupiah (Kompas, 25 Juli 2011). Banyaknya Perda yang dibatalkan tersebut juga menggambarkan lemahnya kualitas sumberdaya insan di tempat dalam proses pembuatan Perda.

       Praktik demokrasi lokal yang distortif menyerupai di atas juga seringkali melahirkan ‘kegaduhan’ yang kontraproduktif di daerah. Di luar itu, jikalau mengikuti tren di dunia bisnis global, mendorong lahirnya tempat otonom gres sebanyak-banyaknya tidak selamanya menguntungkan. Sebaliknya beberapa raksasa bisnis justru melaksanakan merger sehingga lebih bisa menghadapi tantangan masa depan. Ibarat dalam dunia persilatan, jikalau banyak sekali energi kasatmata dari beberapa jagoan itu bersatu maka akan melahirkan kekuatan yang dahsyat untuk menghadapi serangan musuh. Lihatlah Bank Mandiri, yang semula merupakan hasil penggabungan sejumlah bank plat merah, kini kian tumbuh sehat dan berkembang dan menjadi salah satu bank nasional papan atas. Demikian juga sejumlah perusahan telekomunikasi dunia contohnya Smart-Fren atau Sonny-Ericson yang lebih menentukan merger untuk menghadapi kompetitor.

     Terus terang saya belum membaca studi kelayakan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa ( PPS). Namun jikalau wacana pemekaran wilayah semacam itu hanya untuk membangkitkan sentimen etnis atau mengandalkan belas kasihan pemerintah Pusat menyerupai yang terjadi selama ini maka wacana itu sebaiknya dipertimbangkan kembali. Sebab hal itu akan membebani pemerintah Pusat. Wacana pemekaran seharusnya bersandar pada kemampuan, sumberdaya dan kemandirian yang dimiliki daerah; bukan bergantung pada kedermawanan pemerintah Pusat, apalagi dijadikan komoditas politik menjelang Pilgub 2018.


Semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

0 Response to "Menimbang Pembentukkan Provinsi Pulau Sumbawa || Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel