Masih Agungkah Mahkamah Agung? || Hajairin, Sh ( Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Aturan Universitas Muhammadiyah Malang )

Hajairin, SH
       Dinamika kenegaraan dikala ini merupakan ketidakmampuan kita dalam menerapkan aturan yang berkeadilan dalam Negara Republik Indonesia, salah satunya Mahkamah Agung (MA) yang mestinya sebagai forum dalam menjaga tatanan aturan di Indonesia, dan membuat peradilan yang berkeadilan haruslah menfokuskan pada pembanguan hukum. Sebab dasar pedoman pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang dibutuhkan lantaran bangsa kita telah melaksanakan perubahan-perubahan yang fundamental sesuai dengan UUD 1945, dengan adanya sistem prinsip “Pemisahan kekuasaan, sebagai akhir perubahan tersebut.

     Maka dari itu Mahkamah Agung (MA) di bentuk semoga benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum Modern kini ini, artinya hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu Negara.

     Sementara ratifikasi forum Mahkamah Agung menurut pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Pasal 1 “Mahkamah Agung ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana di maksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Selain itu lebih lanjut Pasal 31 Ayat (2) Menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturanper undang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku”.

Logo Resmi Mahkamah Agung
sumber wikipedia


       Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu forum tinggi Negara harusnya berhati-hati dalam mengambil keputusan, Pasalnya apapun keputusan Mahkamah Agung itu akan kuat pada pembagunan aturan Nasional, tetapi hari ini justru kegaduhan lahir atas dasar bandit aturan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) itu sendiri. Salah satunya ialah duduk kasus sesudah keluarkanya putusan Nomor 20P/HUM/2017, dalam putusan tersebut majelis menyatakan DPD RI satu rumpun dengan MPR dan DPR, Oleh lantaran itu, masa jabatan pimpinan DPD ditetapkan sama dengan masa jabatan pimpinan forum tinggi lainnya.

Baca juga artikel " Roh Allah + Lempung Busuk = Manusia "

     Tentunya dalam hal ini membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 ihwal Tata Tertib DPD soal masa Jabatan Pimpinan DPD 2,5 tahun. Namun peniadaan putusan tersebut justru di langgar oleh Mahkamah Agung (MA) itu sendiri, hal ini sebagai kejahatan yang semakin menujukan adanya kebobrokan dalam penegakan hukum, meski demikian Mahkamah Agung (MA) tetap melantik pimpinan DPD RI yang di ketuai oleh Oesman Sapta Odang (OSO) 2017-2019.

     Bagi kaum akademisi persoalanya ialah bukan pada pengetikanya yang salah, atau Oesman Sapta Odang (OSO) telah di lantik menjadi ketua DPD RI 2017-2019, namun perhatian akademisnya lebih kepada bagaimana Mahkamah Agung (MA) akan menawarkan praktek yang kotor dan penuh dengan kebobrokan ibarat yang selalu bisa terjadi dalam dunia hukum, apalagi kita bicara ihwal penegakan aturan dan keadilan. Sebab Mahkamah Agung (MA) harusnya menjadi cerminan bagi lembaga-lembaga penegak aturan lainya.

       Dengan kondisi kini ini dapatlah disimpulkan ternyata hingga detik ini Mahkamah Agung (MA) masih belum berhasil mencuci diri dari praktik kotor bandit peradilan yang selama ini terjadi. Sebab dalam indikasi peniadaan dan peresmian terhadap Pimpinan DPD RI merupakan kompromi politik kekuasaan dikala ini, lantaran semau pihak mengetahui bagaimana kaitanya anatara Oesman Sapta Odang (OSO) dengan kekuasaan kini ini. Sehingga yang terjadi ialah mafiah aturan dan peradilan semakin merajalela pada perkembangan Negara Indonesia di ambang pintu keserakahan dan sekarat, hal ini tidak lagi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ihwal kekuasaan kehakiman.

       Berangkat dari banyak sekali masalah kini ini termasuk duduk kasus peniadaan dan peresmian DPD RI, apakah masih perlu kita anggap Mahkamah Agung (MA) di sebagai forum yang agung, alasannya ialah dapat dipercaya hakim Mahkamah Agung (MA) patut dipertanyakan oleh semua pihak, sangat disayangkan semua ini berjalan tanpa batas kebenaran dan keadilan selain itu, sebetulnya bandit peradilan yang merambat kepada semua lini sistem aturan kita, Dari proses penyelidikan hingga proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, maupun proses pemidahaan di forum pemasyarakatan. Bukanlah sifatnya belakang layar bagaimana duduk kasus praktik jual-beli kasus di pengadilan, mestinya mahkamah agung harus memperbaiki gambaran jelek yang selama ini terjadi di dunia peradilan, lantaran sebagai benteng terakhir proses hukum.

Gedung Mahkama Agung RI
Sumber wikipedia 
         Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu forum yang paling bertanggungjawab dengan terus maraknya praktik bandit peradilan, bandit peradilan ialah bulat setan yang melibatkan semua pegawanegeri penegak aturan hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera, dan pegawai peradilan bahkan para hebat dari perguruan tinggi yang pendapatnya sesuai pendapatan. Namun, seandainya para hakim tidak bisa dibeli, maka praktik bandit peradilan tidak akan pernah tumbuh subur apalagi mempolitisasi putusan pengadilan dalam Mahkamah Agung. tetapi Mahkamah Agung (MA) justru membuat keburukan gres di badan Mahkamah Agung melalui peresmian pimpinan DPD RI 2017-2019 yang Draf tatibnya di batalkan oleh Mahkamah Agung itu sendiri.

             Selain itu dengan kondisi yang di perlihatkan oleh mahkamah agung kini ini yang sangat memprihatinkan, mestinya Komisi Yudisial (KY) harus lebih tegas dalam mengusut dugaan pelanggaran isyarat etik dalam masalah ini terkait dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Draf Pimpinan DPD yang hanya 2,5 tahun, dan melantiknya kembali dengan alasan ada kesalahan dalam pengetikan putusan. Sangat lucu Negara ini, Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengakui kekeliruan dalam hal penulisan putusan uji materi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Poin yang salah itu tertulis, "Memerintahkan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 ihwal Tata Tertib."

      Dengan demikian penulis mengaggap bahwa duduk kasus ini bukanlah duduk kasus yang bisa dipermainkan begitu saja oleh Mahkamah Agung, aturan dan keadilan sudah tidak lagi menjadi pilar utama dalam menjemput demokrasi yang di harapkan oleh banyak pihak selama ini, menarik untuk kita renungi dengan mengikuti secara seksama akan menjadi apa Negara ini ketika aturan dan keadilan di permainkan, atau masihkah kita menganggap Mahkamah Agung (MA) sebagai lemabaga yang masih memiliki moral dan integritas* .

Semoga Bermanfaat Untuk Semua "  "
   

0 Response to "Masih Agungkah Mahkamah Agung? || Hajairin, Sh ( Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Aturan Universitas Muhammadiyah Malang )"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel