Sentimen Arab Terhadap Republik Indonesia | Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)

Created By : Ilyas, M.M.Pd


Ada sebagian kalangan umat Islam yang melihat bahwa kunjungan Raja Salman ke Indonesia dikala ini sebagai upaya untuk ‘mempermalukan’ pemerintahan Jokowi yang dianggap takluk di bawah dikte Cina (yang ‘komunis’), termasuk yang dilakukan oleh kalangan pengusaha Cina beserta segenap kaki tangannya di Indonesia. 
      Indonesia di bawah pimpinan Jokowi dianggap sepenuhnya berada dalam kontrol Cina baik dalam bidang ekonomi, budaya maupun politik. Indonesia digambarkan seolah sudah kehilangan kedaulatannya; Indonesia dijajah oleh Cina. 
    Mereka percaya benar bahwa Indonesia dikala ini secara perlahan dan niscaya berada dalam cengkeraman negara naga itu. Sejumlah ‘bukti’ pun dibentangkan: semenjak dari banyaknya warga Cina yang terlibat dalam jaringan narkoba, membanjirnya serbuan tenaga kerja ilegal Cina di Tanah Air, impor pacul dari Cina, insiden pengibaran bendera Cina di Maluku, terbongkarnya narkoba dalam tiang pancang proyek reklamasi teluk Jakarta yang diimpor dari Cina, dan tentu saja tuduhan ‘kebal hukum’ terhadap Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. 
      Kunjungan Raja Salman juga digadang-gadang sebagai bentuk ‘keberpihakan’ Arab Saudi---sebagai representasi dunia Islam---atas nasib umat Islam yang ‘tertindas’ di bawah Jokowi: umatnya direndahkan, kitab sucinya dilecehkan, ulamanya dihinakan dan dikriminalisasi serta membiarkan penista Islam tidak tersentuh hukum. Besarnya nilai investasi (bahkan lebih besar dari investasi Cina) maupun banyaknya kontrak kerjasama yang dicapai dalam kunjungan Sang Raja juga ialah bukti kasatmata keberpihakan tersebut. 
      Singkatnya kunjungan itu tidak lain untuk mengangkat kembali harga diri umat Islam yang selama ini dizolimi. Bahkan beberapa kelompok Islam yang rajin memainkan sentimen penindasan selama ini hingga “baperan” berharap diundang bertemu raja. 
      Kunjungan Raja Salman ini cukup fenomenal dilihat dari jumlah rombongan yang dibawanya (1500 orang termasuk diantaranya 10 menteri dan 25 pangeran), durasi kunjungan (9 hari), nilai investasi (Rp 134 trilyun), nota kesepahaman (11 MoU meliputi kerjasama bidang ekonomi dan perdagangan, pendidikan, kebudayaan serta pariwisata) maupun properti serta jumlah pesawat yang digunakannya. Kunjungan itu sangat bersejarah sebab gres terjadi sesudah lebih dari 40 tahun semenjak kunjungan pertama. Yang fenomenal, sesudah menuntaskan kunjungan kenegaraannya di Jakarta (termasuk mengunjungi Mesjid Istiqlal dan berpidato di Gedung DPR/MPR), rombongan Raja Salman menghabiskan waktu enam hari liburan di Pulau Bali. 
     
Raja Salman
Dengan segenap gegap gempita kunjungan itulah sehingga sebagian orang memaknainya sebagai upaya untuk “menampar” arogansi pemerintahan Jokowi. Tapi benarkah? Tidak juga. Perkara kunjungan Sang Raja yang spektakuler itu bukan hanya di Indonesia. 
Ketika mengunjungi Turki tahun kemudian kemeriahan properti yang mengiringi perjalanan Raja Salman hampir sama, salah satunya menyewa hingga 220 kamar hotel di sana, begitu pula kunjungannya ke negara-negara lain. Begitu pula dibandingkan negara lain nilai investasi Arab Saudi di Indonesia juga relatif kecil; berada di urutan 36. Lalu kenapa kedatangan Raja Salman kali ini terasa beda? Paling tidak ada dua hal berdasarkan saya. Pertama, secara keagamaan betapapun Arab Saudi ialah sentra gravitasi spiritual umat Islam dimana Ka’bah sebagai kiblat salat umat Islam berada di Mekkah. Begitu pula dengan keberadaan banyak sekali situs sejarah dan rumah ibadah (seperti Mesjidil Haram dan Mesjid Nabawi) yang menjadi tujuan kunjungan spiritual dan ibadah umat Islam di seluruh dunia. Di sini posisi Kerajaan Arab Saudi sebagai penjaga otoritas keagamaan (khadimul haraiman) terkemuka memberinya sejumlah keistimewaan terutama secara keagamaan, ekonomi maupun politik.
     Secara ekonomi jutaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji dan umrah tiap tahun terang memperlihatkan bantuan yang tidak sedikit terhadap roda ekonomi Arab Saudi. Sedangkan secara politik keistimewaan di atas menjadikan Kerajaan Arab Saudi mempunyai daya tawar tinggi terhadap negara-negara muslim lainnya. Di sini hampir semua negara muslim kiranya berkepentingan terhadap Arab Saudi terutama dalam urusan kouta jamaah haji, di samping untuk memburu investasi dari negara kaya minyak ini. Kedua, sulit dibantah bahwa upaya untuk membenturkan kunjungan Raja Salman dengan dominasi Cina di Indonesia tidak sanggup dilepaskan dari kontestasi Pilkada DKI yang sangat kental dengan aroma SARA, terutama semenjak munculnya kasus Ahok dengan segenap derivasinya: semenjak dari wacana ‘pengkafiran’, ‘penistaan’, ‘komunisme’. Aroma SARA yang menyengat itu hingga sulit dipahami secara waras menyerupai berujung penolakan salat mayat terhadap pendukung salah satu Paslon. 
     
Perjamuan Raja Salman
Demikian juga sejumlah majelis taklim dan mesjid di Jakarta berubah menyerupai kantor partai politik sebab menjadi ajang untuk mendukung salah satu Paslon dan menolak bahkan menghina Paslon lainnya. Ceramah-ceramah agama dan khutbah jumat berisi cemoohan dan penghinaan terhadap mereka yang mempunyai afiliasi dan pilihan politik yang berbeda. Begitu pula beberapa grup WA dipenuhi propaganda kebencian dan penghasutan, termasuk grup WA asosiasi profesi dosen. Malah ada beberapa teman dosen yang isi postingannya di FB selalu berisi sumpah serapah serta memaki-maki pejabat negara: Presiden Jokowi tidak becuslah, Kapolri berotak Kamra-lah dan seterusnya. Saya prihatin dengan kaum intelektual semacam ini sebab sudah kehilangan kejernihan berpikir, perilaku objektif serta independensinya sebagai kaum terpelajar. Saya heran, kalau orang-orang semacam ini ikut dalam pemilihan ketua RT kira-kira ada yang mau memilihnya ya? Maka ketika seorang mitra saya mengklaim bahwa kunjungan Raja Salman itu dalam rangka membangkitkan rasa percaya diri umat Islam di mata Barat (liberal) maupun Cina (komunis), saya justru melihat sebaliknya. Jangan-jangan kemewahan yang menyertai (setiap) kunjungan Sang Raja malah berlawanan dengan pesan-pesan moral pedoman Islam yang memerintahkan kesederhanaan dan menjauhi pemborosan.
      Saya katakan padanya bahwa jangankan dalam urusan dunia, dalam hal ibadah saja Islam melarang umatnya bersikap boros. Dalam buku-buku fikih contohnya dijelaskan bahwa kalau berwudlu di tengah samudera sekalipun kita hanya dianjurkan membasuh potongan badan maksimal tiga kali! Saya juga katakan, Cina yang komunis itu malah mengadopsi nilai-nilai Islam ihwal efisiensi. Misalnya pejabat Cina dihentikan melaksanakan kunjungan keluar negeri dalam jumlah banyak; itu pun hanya kunjungan yang sangat perlu. Untuk memberikan dan menyebarluaskan hasil kunjungan mereka diharuskan menyebarkan kepada pejabat lainnya, toh akibatnya sama saja. 
       Pemerintah Cina juga melarang pejabat negara menggelar pesta-pesta langsung yang mewah, contohnya dalam janji nikah anaknya untuk mencegah gratifikasi. Lebih dari itu, saya katakan, daripada pejabat menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak produktif alangkah baiknya kalau mereka memakai uang untuk melaksanakan proyek-proyek strategis menyerupai di bidang pendidikan dan riset. 
      Bayangkan kalau ada pilot proyek pendirian universitas-universitas Islam kelas dunia maka cita-cita kejayaan peradaban Islam itu akan lebih kasatmata sehingga generasi muda Islam tidak lagi ke Eropa atau AS menuntut ilmu terutama untuk disiplin natural sciencies. Demikian pula halnya dengan formasi universitas kelas dunia. Faktanya hingga dikala ini universitas kelas dunia itu (world class university) itu masih dipegang menyerupai Universitas Harvard (AS), Universitas Oxford (Inggris), atau di Asia ada NUS (Singapura). Meski semenjak 1970-an, atas rekomendasi OKI, telah dirintis universitas Islam internasional di Malaysia dan Pakistan namun keduanya hanya terfokus pada pengembangan “social sciences” dengan segala keterbatasannya. 
      Dengan kondisi tersebut maka tidak mengherankan kalau bantuan sarjana muslim dalam kancah keilmuan dan kemanusiaan masih minim. Peraih hadiah Nobel misalnya, setahu saya gres dua sarjana muslim yang berhasil meraihnya yakni Abduh Salam (Pakistan) dalam bidang Fisika pada 1979 dan Muhammad Yunus (Bangladesh) di bidang ekonomi pada 2006 yang populer dengan Greeman Bank-nya. Sebaliknya para pengusaha kaya di negara-negara minyak itu lebih tertarik menanamkan uang mereka pada klub-klub sepak bola di Eropa ketimbang berinvestasi pada pengembangan pendidik didunia islam,ironis bukan. (Teamwork212)"

0 Response to "Sentimen Arab Terhadap Republik Indonesia | Ilyas, M.M.Pd (Dosen Stkip Yapis Dompu)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel